A. Pengertian Agama Dan Masyarakat
Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa “tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan
untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya” dan “menjamin semuanya
akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya”.
Pemerintah, bagaimanapun, secara resmi hanya mengakui enam agama, yakni
Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu.
Dengan banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia,
konflik antar agama sering kali tidak terelakkan. Lebih dari itu,
kepemimpinan politis Indonesia memainkan peranan penting dalam hubungan
antar kelompok maupun golongan. Program transmigrasi secara tidak
langsung telah menyebabkan sejumlah konflik di wilayah timur Indonesia.
Berdasar sejarah, kaum pendatang telah menjadi pendorong utama
keanekaragaman agama dan kultur di dalam negeri dengan pendatang dari
India, Tiongkok, Portugal, Arab, dan Belanda. Bagaimanapun, hal ini
sudah berubah sejak beberapa perubahan telah dibuat untuk menyesuaikan
kultur di Indonesia.
Berdasarkan Penjelasan Atas Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pasal 1, “Agama-agama
yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius)”.
- ISLAM
Indonesia merupakan negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia,
dengan 88% dari jumlah penduduk adalah penganut ajaran Islam. Mayoritas
Muslim dapat dijumpai di wilayah barat Indonesia seperti di Jawa dan
Sumatera. Masuknya agama islam ke Indonesia melalui perdagangan.
- HINDU
Kebudayaan dan agama Hindu tiba di Indonesia pada abad pertama Masehi,
bersamaan waktunya dengan kedatangan agama Buddha, yang kemudian
menghasilkan sejumlah kerajaan Hindu-Buddha seperti Kutai, Mataram dan
Majapahit.
- BUDDHA
Buddha merupakan agama tertua kedua di Indonesia, tiba pada sekitar abad
keenam masehi. Sejarah Buddha di Indonesia berhubungan erat dengan
sejarah Hindu.
- KRISTEN KATOLIK
Agama Katolik untuk pertama kalinya masuk ke Indonesia pada bagian
pertama abad ketujuh di Sumatera Utara. Dan pada abad ke-14 dan ke-15
telah ada umat Katolik di Sumatera Selatan. Kristen Katolik tiba di
Indonesia saat kedatangan bangsa Portugis, yang kemudian diikuti bangsa
Spanyol yang berdagang rempah-rempah.
- KRISTEN PROTESTAN
Kristen Protestan berkembang di Indonesia selama masa kolonial Belanda
(VOC), pada sekitar abad ke-16. Kebijakan VOC yang mengutuk paham
Katolik dengan sukses berhasil meningkatkan jumlah penganut paham
Protestan di Indonesia. Agama ini berkembang dengan sangat pesat di abad
ke-20, yang ditandai oleh kedatangan para misionaris dari Eopa ke
beberapa wilayah di Indonesia, seperti di wilayah barat Papua dan lebih
sedikit di kepulauan Sunda.
- KONGHUCU
Agama Konghucu berasal dari Cina daratan dan yang dibawa oleh para
pedagang Tionghoa dan imigran. Diperkirakan pada abad ketiga Masehi,
orang Tionghoa tiba di kepulauan Nusantara. Berbeda dengan agama yang
lain, Konghucu lebih menitik beratkan pada kepercayaan dan praktik yang
individual.
B. Fungsi-Fungsi Agama
· Tentang Agama
Agama bukanlah suatu entitas independen yang berdiri sendiri. Agama
terdiri dari berbagai dimensi yang merupakan satu kesatuan.
Masing-masingnya tidak dapat berdiri tanpa yang lain. seorang ilmuwan
barat menguraikan agama ke dalam lima dimensi komitmen. Seseorang
kemudian dapat diklasifikasikan menjadi seorang penganut agama tertentu
dengan adanya perilaku dan keyakinan yang merupakan wujud komitmennya.
Ketidakutuhan seseorang dalam menjalankan lima dimensi komitmen ini
menjadikannya religiusitasnya tidak dapat diakui secara utuh. Kelimanya
terdiri dari perbuatan, perkataan, keyakinan, dan sikap yang
melambangkan (lambang=simbol) kepatuhan (=komitmen) pada ajaran agama.
Agama mengajarkan tentang apa yang benar dan yang salah, serta apa yang
baik dan yang buruk.
Agama berasal dari Supra Ultimate Being, bukan dari kebudayaan yang
diciptakan oleh seorang atau sejumlah orang. Agama yang benar tidak
dirumuskan oleh manusia. Manusia hanya dapat merumuskan kebajikan atau
kebijakan, bukan kebenaran. Kebenaran hanyalah berasal dari yang benar
yang mengetahui segala sesuatu yang tercipta, yaitu Sang Pencipta itu
sendiri. Dan apa yang ada dalam agama selalu berujung pada tujuan yang
ideal. Ajaran agama berhulu pada kebenaran dan bermuara pada
keselamatan. Ajaran yang ada dalam agama memuat berbagai hal yang harus
dilakukan oleh manusia dan tentang hal-hal yang harus dihindarkan.
Kepatuhan pada ajaran agama ini akan menghasilkan kondisi ideal.
· Mengapa ada yang Takut pada Agama?
Mereka yang sekuler berusaha untuk memisahkan agama dari kehidupan
sehari-hari. Mereka yang marxis sama sekali melarang agama. Mengapa
mereka melakukan hal-hal tersebut? Kemungkinan besarnya adalah karena
kebanyakan dari mereka sama sekali kehilangan petunjuk tentang tuntunan
apa yang datang dari Tuhan. Entah mereka dibutakan oleh minimnya
informasi yang mereka dapatkan, atau mereka memang menutup diri dari
segala hal yang berhubungan dengan Tuhan.
Alasan yang seringkali mereka kemukakan adalah agama memicu perbedaan.
Perbedaan tersebut menimbulkan konflik. Mereka memiliki orientasi yang
terlalu besar pada pemenuhan kebutuhan untuk bersenang-senang, sehingga
mereka tidak mau mematuhi ajaran agama yang melarang mereka melakukan
hal yang menurutnya menghalangi kesenangan mereka, dan mereka
merasionalisasikan perbuatan irasional mereka itu dengan justifikasi
sosial-intelektual. Mereka menganggap segi intelektual ataupun sosial
memiliki nilai keberhargaan yang lebih. Akibatnya, mereka menutup indera
penangkap informasi yang mereka miliki dan hanya mengandalkan
intelektualitas yang serba terbatas.
Mereka memahami dunia dalam batas rasio saja. Logika yang mereka miliki
begitu terbatasnya, hingga abstraksi realita yang bersifat
supra-rasional tidak mereka akui. Dan hasilnya, mereka terpenjara dalam
realitas yang serba empiri. Semua harus terukur dan terhitung. Walaupun
mereka sampai sekarang masih belum memahami banyaknya fungsi alam yang
bekerja dalam mekanisme supra rasional, keterbatasan kerangka berpikir
yang mereka miliki menegasikan semua hal yang tidak dapat ditangkap
secara inderawi.
Padahal, pembatasan diri dalam realita yang hanya bersifat empiri hanya
akan membatasi potensi manusia itu sendiri. Dan hal ini menegasikan
tujuan hidup yang selama ini diagungkan para penganut realita
rasio-saja, yaitu aktualisasi diri dan segala potensinya.
Agama, dengan sandaran yang kuat pada realitas supra rasional,
membebaskan manusia untuk mengambil segala hal yang terbaik yang dapat
dihasilkannya dalam hidup. Semua-apakah hal itu bersifat empiri-terukur,
maupun yang belum dapat diukur. Empirisme bukanlah suatu hal yang
ditolak agama. Agama yang benar, yang bersifat universal, mencakup segi
intelektual yang luas, yang diantaranya adalah empirisme. Agama tidak
mereduksi intelektualitas manusia dengan membatasi kuantitas maupun
kualitas suatu idea. Agama yang benar, memberi petunjuk pada manusia
tentang bagaimana potensi manusia dapat dikembangkan dengan
sebesar-besarnya. Dan sejarah telah membuktikan hal tersebut.
Kesalahan yang dibuat para penilai agama-lah yang kemudian menyebabkan
realita ajaran ideal ini menjadi terlihat buruk. Beberapa peristiwa
sejarah yang menonjol mereka identikan sebagai kesalahan karena agama.
Karena keyakinan pada ajaran agama. Padahal, kerusakan yang ditimbulkan
adalah justru karena jauhnya orang dari ajaran agama. Kerusakan itu
timbul saat agama-yang mengajarkan kemuliaan- disalahgunakan oleh
manusia pelaksananya untuk mencapai tujuan yang terlepas dari ajaran
agama itu sendiri, terlepas dari pelaksanaan keseluruhan dimensinya.
C. Pelembagaan Agama
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan agama? Kami mengurapamakan sebagai
sebuah telepon. Jika manusia adalah suatu pesawat telepon, maka agama
adalah media perantara seperti kabel telepon untuk dapat menghubungkan
pesawat telepon kita dengan Telkom atau dalam hal ini Tuhan. Lembaga
agama adalah suatu organisasi, yang disahkan oleh pemerintah dan
berjalan menurut keyakinan yang dianut oleh masing-masing agama.
Penduduk Indonesia pada umumnya telah menjadi penganut formal salah satu
dari lima agama resmi yang diakui pemerintah. Lembaga-lembaga keagamaan
patut bersyukur atas kenyataan itu. Namun nampaknya belum bisa
berbangga. Perpindahan penganut agama suku ke salah satu agama resmi itu
banyak yang tidak murni.
Sejarah mencatat bahwa tidak jarang terjadi peralihan sebab terpaksa.
Pemaksaan terjadi melalui “perselingkuhan” antara lembaga agama dengan
lembaga kekuasaan. Keduanya mempunyai kepentingan. Pemerintah butuh
ketentraman sedangkan lembaga agama membutuhkan penganut atau pengikut.
Kerjasama (atau lebih tepat disebut saling memanfaatkan) itu terjadi
sejak dahulu kala. Para penyiar agama sering membonceng pada suatu
kekuasaan (kebetulan menjadi penganut agama tersebut) yang mengadakan
invansi ke daerah lain. Penduduk daerah atau negara yang baru
ditaklukkan itu dipaksa (suka atau tidak suka) menjadi penganut agama
penguasa baru.
Kasus-kasus itu tidak hanya terjadi di Indonesia atau Asia dan Afrika
pada umumnya tetapi juga terjadi di Eropa pada saat agama monoteis mulai
diperkenalkan. Di Indonesia “tradisi” saling memanfaatkan berlanjut
pada zaman orde Baru.Pemerintah orde baru tidak mengenal penganut di
luar lima agama resmi. Inilah pemaksaan tahap kedua. Penganut di luar
lima agama resmi, termasuk penganut agama suku, terpaksa memilih salah
satu dari lima agama resmi versi pemerintah. Namun ternyata masalah
belum selesai. Kenyataannya banyak orang yang menjadi penganut suatu
agama tetapi hanya sebagai formalitas belaka. Dampak keadaan demikian
terhadap kehidupan keberagaan di Indonesia sangat besar. Para penganut
yang formalitas itu, dalam kehidupan kesehariannya lebih banyak
mempraktekkan ajaran agam suku, yang dianut sebelumnya, daripada agama
barunya. Pra rohaniwan agama monoteis, umumnya mempunyai sikap
bersebrangan dengan prak keagamaan demikian. Lagi pula pengangut agama
suku umumnya telah dicap sebagai kekafiran. Berbagai cara telah
dilakukan supaya praktek agama suku ditinggalkan, misalnya pemberlakukan
siasat/disiplin gerejawi. Namun nampaknya tidak terlalu efektif.
Upacara-upacara yang bernuansa agama suku bukannya semakin berkurang
tetapi kelihatannya semakin marak di mana-mana terutama di desadesa.
Demi pariwisata yang mendatangkan banyak uang bagi para pelaku
pariwisata, maka upacarav-upacara adat yang notabene adalah upacara
agama suku mulai dihidupkan di daerah-daerah. Upacara-upacara agama
sukuyang selama ini ditekan dan dimarjinalisasikan tumbuh sangat subur
bagaikan tumbuhan yang mendapat siraman air dan pupuk yang segar.
Anehnya sebab bukan hanya orang yang masih tinggal di kampung yang
menyambut angin segar itu dengan antusias tetapi ternyata orang yang
lama tinggal di kotapun menyambutnya dengan semangat membara. Bahkan di
kota-kotapun sering ditemukan praktek hidup yang sebenarnya berakar
dalam agama suku. Misalnya pemilihan hari-hari tertentu yang diklaim
sebagai hari baik untuk melaksanakan suatu upacara. Hal ini semakin
menarik sebab mereka itu pada umumnya merupakan pemeluk yang “ fanatik”
dari salah satu agama monoteis bahkan pejabat atau pimpinan agama.
Sumber: http://imanaryhartono-ug.blogspot.co.id/2014/01/tugas-isd-bab-9.html
0 komentar:
Posting Komentar